PALANGKA RAYA - Cornelis Nalau Anton selaku salah seorang pemegang saham PT Berkala Maju Bersama (BMB) menegaskan sikap atas sejumlah pernyataan para pihak yang keliru dan menjurus fitnah. Pada kesempatan ini, Cornelis Nalau Anton memberi klarifikasi atas tudingan miring yang ditujukan kepadanya dari para pihak yang mengaku sebagai manajemen baru PT BMB.
Pada awalnya, Cornelis Nalau Anton adalah pemilik saham 98 persen dan adik kandungnya bernama Guntur (Alm) 2 persen di perusahaan besar swasta atau PBS kelapa sawit PT Berkala Maju Bersama (BMB) sebelum peralihan saham dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) menjadi penanaman modal asing (PMA) pada tahun 2012.
Sebagai putra asli Suku Dayak asal Kabupaten Gunung Mas, Cornelis Nalau Anton meminta kepada pihak yang mengaku manajemen baru PT BMB tidak membangun opini yang justru menyesatkan, memperuncing masalah, tendensius hingga menjurus pernyataan fitnah kepadanya, karena belum tentu kebenarannya. Jika hal tersebut terus dihembuskan, maka siap-siap menerima konsekuensi hukum.
Dalam klarifikasinya, Cornelis Nalau Anton menceritakan dari awal perihal pendirian PT BMB, berdasarkan data dan fakta kepada publik, bukan berdasarkan asumsi apalagi opini yang menyesatkan seperti yang dituduhkan para pihak kepadanya. Karena menurut Cornelis Nalau Anton, pernyataan-pernyataan Basirun Panjaitan Cs menyesatkan dan menunjukkan bahwa mereka tidak mengerti sama sekali tentang PT BMB. Bahkan ia menilai Basirun Panjaitan Cs tidak memahami struktur Manajamen Perusahaan.
Diceritakan Cornelis Nalau Anton, dia bersama adik kandungnya bernama Guntur (Alm) mendirikan PT BMB berdasarkan Akta Notaris Nomor: 25 tanggal 16 April 2011. "Walapun di sana ada saham dua persen milik adik saya, tetapi itu sebenarnya murni modal saya. Jadi kalau kita bicara modal, saya adalah pemilik saham tunggal di PT BMB, dan dalam struktur perusahaan, saya sendiri sebagai Direktur Utama, Suria sebagai Direktur dan almarhum adik saya sebagai Komisaris, sebelum beralih menjadi PMA tahun 2012, " kata pria yang akrab dipanggil Alis ini.
Pada tahun 2012, PT BMB mendapat Izin Usaha Perkebunan atau IUP dari Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah seluas 2.138 hektare di Kecamatan Manuhing, berdasarkan SK Bupati Nomor: 38 tanggal 7 Maret 2012. Setelah mendapat IUP, dia menyadari bahwa untuk membangun perkebunan kelapa sawit dia membutuhkan dana yang besar, sehingga berkeinginan menggandeng investor.
Peralihan PMDA ke PMA
Dalam perjalanan perusahaan yang dipimpinnya ucap Cornelis Nalau Anton, ia bertemu teman lama saat bersama-sama membangun karier bisnis di perusahaan kehutanan, yaitu saudara Elan S. Gahu dan Edwin Permana yang kemudian memperkenalkan dia dengan investor asing. Dari pertemuan dengan investor dari Malaysia yaitu perusahaan AV-Ecopalms SDN BHD, dan mereka menyatakan kesanggupan untuk menyuntikkan modal pembangunan perkebunan kelapa sawit hingga 100 persen.
"Dari situlah kemudian terjadi peralihan modal dari PMDN, dimana saham kepemilikan pribadi saya yang kemudian menjadi PMA dan saya tetap diberikan saham sebesar enam persen, selebihnya sebesar 94 persen saham PMA. Atas jasa kedua teman saya, Erlan dan Edwin yang sudah membantu mempertemukan saya dengan investor, saya memberikan saham masing-masing 1, 5 persen, " ungkap Cornelis.
Setelah ada kesepakatan dengan investor asing lanjut Cornelis, ia bersama kedua temannya melakukan perubahan status BMB dari perseroan terbatas PMDN ke PMA dan harus mendapat Surat Izin Prinsip Penanaman Modal dari Badan Koordinasi Penanaman Modal atau BKPM sebagaimana yang diatur dalam Undang Undang Nomor: 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Setelah memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku, terbitlah surat izin dari BKPM Nomor: 214/1/IP/I/PMA/2012 tanggal 3 April 2012.
Dengan demikian maka modal dasar, susunan pemegang saham dan susunan Direksi serta Komisaris dalam PT BMB berubah menyesuaikan izin dari BKPM berdasarkan Akta Perubahan tanggal 31 Mei 2012, Akta Nomor: 44 yang kemudian mendapat pengesahan dan persetujuan dari KemenkumHAM, Nomor AHU. 34465.AH.01.02 tahun 2012. Dalam akta perubahan dari PMDN ke PMA tersebut, Mohammad Daud bin Mohammed sebagai Presiden Direktur, Tan Hock Yew sebagai Direktur, Mak Chee Meng sebagai Presiden Komisaris dan Cornelis Nalau Anton sebagai Komisaris.
Ini data dan faktanya. Kalau berbicara dalam struktur perusahaan, manajemen lama yang disebutkan itu adalah manajemen Malaysia. Sedangkan Cornelis sudah tidak masuk dalam jajaran Direksi di PMA yang punya kewenangan dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai ketentuan perusahaan.
“Jadi kalau ada yang menyebutkan selama ini manajemen PT BMB amburadul dan telah merugikan PT BMB hingga ratusan miliar. Pertanyaannya siapa manajemen lama itu, siapa yang membuat perusahaan merugi tersebut? Jadi, jangan asal ngomong kalau tidak paham struktur perusahaan, " tegas Cornelis.
Cornelis menambahkan, sejak peralihan kepemilikan saham dari PMDN ke PMA tahun 2012 dan Direksi dipegang manajamen dari Malaysia dia tidak lagi memiliki kewenangan dan tanggung jawab di dalam pengurusan perseroan. Apalagi sejak tahun 2013 hingga tahun 2017 dia sama sekali tidak terlibat dalam pengurusan perseroan karena berhalangan.
“Walapun saya berhalangan, telah beberapa kali Akta PT BMB mengalami perubahaan dari Akta Nomor: 44 menjadi Akta Nomor : 29 tanggal 08 September 2015, Akta Notaris: 09 tanggal 21 Februari 2017 dan Akta Notaris: 05 tanggal 4 Oktober 2017 yang mana saya masih tetap menjabat sebagai Komisaris, ” rincinya.
Pada tahun yang sama, ia justru diberikan tugas tambahan dari induk perusahaan grup, yaitu PT CBI Ecopalams Group melalui Surat Tugas yang ditandatangani langsung oleh Presiden Komisaris, Mak Chee Meng sehubungan dengan deadline target PT Berkala Maju Bersama (PT BMB), PT Jaya Jadi Utama (PT JJU), dan PT Sawit Lamandau Raya (PT SLR), Cornelis Nalau Anton diangkat sebagai Direktur Hukum dan Sosial di tiga perusahaan tersebut, khusus untuk penanganan hukum dan konflik sosial dengan diberikan hak yang layak, selain hak sebagai Komisaris.
"Jadi setelah perusahaan berstatus PMA AV-Ecopalm kondisi perusahaan selama dipegang oleh Mohammad Daud bin Mohammed sebagai Presiden Direktur, Tan Hock Yew sebagai Direktur, Mak Chee Meng sebagai Presiden Komisaris, bisa jadi benar merugi, karena selama itu saya belum pernah mendapatkan dividen atau pembagian keuntungan perusahaan, ” tukas Cornelis Nalau Anton.
"Merujuk pernyataan Basirun Panjaitan yang menyebutkan adanya kerugian perusahaan hingga ratusan miliar, yang katanya ada korupsi dan pencucian uang oleh manajemen lama yang mengarah kepada saya. Faktanya tidak demikian, karena operasional dan kebijakan dalam perusahaan tidak pernah dipegang oleh saya, namun dipegang oleh manajemen Malaysia. Seandainya ada kerugian seperti yang diisukan selama ini, itu bukan menjadi tanggung jawab saya, ” tegas Cornelis.
Strategi Jitu Cornelis Menyehatkan Perusahaan Setelah lama meninggalkan perusahaan karena berhalangan sejak tahun 2013 hingga tahun 2017, Cornelis akhirnya kembali ke perusahaan khususnya di PT BMB Manuhing yang ketika itu, ia mendapatkan kondisi perusahaan tidak sesuai dengan harapan. Kebun tidak terawat, jalan-jalan produksi rusak parah, produksi TBS turun, police line dimana-mana dan kondisi keuangan perusahaan kurang sehat.
Namun demikian, dengan kewenangan ia bertekad akan memperbaiki kondisi perusahaan yang dimulai dari pemeliharaan kebun. Hal itu ucapnya, mengingat semangat awal dalam membangun PT BMB bisa membuka lapangan pekerjaan bagi orang banyak, terutama masyarakat sekitar. Apalagi sebagai putra daerah dengan filosofi Maju Bersama secara Berkala untuk mengangkat harkat dan martabat keluarga besarnya serta masyarakat sekitar, khususnya masyarakat Kecamatan Manuhing dan Kabupaten Gunung Mas pada umumnya.
Setelah melihat kondisi perkebunan yang tidak terawat dan tidak ada harapan untuk menguntungkan perusahaan, dan akan berdampak pada dirinya sebagai pemilik saham yang tentu juga tidak akan mendapat dividen, apabila kondisi perkebunan tidak segera diperbaiki dan iapun akhirnya mengadakan pertemuan dengan Presiden Komisaris Mak Chee Meng, Yap sebagai Plantation Controller dan Subramaniam Arunasalam sebagai Plantation Manager untuk bersama-sama mencari solusi dalam menyehatkan keuangan perusahaan dengan langkah pertama memperbaiki jalan akses masuk kawasan perkebunan dan blok perkebunan dengan disepakati dia membeli alat berat, yaitu grader, vibro dan dua unit ekskavator.
Dalam pertemuan itu, Cornelis sempat bertanya, mengapa dia yang harus membeli alat berat. Mengingat operasional perusahaan menjadi tanggung jawab penuh manajemen. Mak Che Meng sebagai Presiden Komisaris beralasan karena keadaan keuangan perusahaan tidak mampu lagi untuk membeli alat berat. Akhirnya dia sepakat membeli alat berat yang diperlukan dengan dana pribadi untuk memperbaiki kondisi perkebunan.
“Setelah ruas-ruas jalan produksi diperbaiki dan jalan blok, contohnya jalan akses menuju mess sebelum diperbaiki memakan waktu 40-60 menit, sekarang berkat alat berat yang dia beli dengan cara kredit itu mampu ditempuh hanya dengan waktu 15 menit. Jalan-jalan blok untuk memperlancar angkutan tandan buah segar atau TBS ke jalan poros juga sudah baik karena terpelihara, " jelas Cornelis.
Lebih lanjut Cornelis mengatakan, berkat alat berat yang dia beli secara kredit tersebut, akses jalan-jalan produksi membaik dan produksi TBS terus meningkat dan permasalah hukum yang mana sebelumnya terdapat police line dalam kawasan kebun yang menjadi sengketa dapat diselesaikan dengan baik, keuangan perusahaan berangsur sehat.
Akhir tahun 2017 sampai 2018 kemudian dia mengusulkan kepada manajemen untuk membangun pabrik minyak kelapa sawit/CPO di PT BMB Manuhing mengingat potensi TBS baik dari kebun inti maupun kebun mitra dan masyarakat sekitar cukup besar. Usul itu mendapat sambutan baik dari manajemen.
Untuk merealisasi pembangun pabrik CPO, pada tanggal 1 Juni 2017, PT BMB dan PT CB Polaindo menandatangani kontrak kerja sama melalui Surat Nomor: PME/002/2017 (Local) untuk membangun pabrik CPO di Manuhing dengan kapasitas 45-60 ton/jam dan pada tanggal 9 Agustus 2017, yang ditandatangani oleh Cornelis sebagai Komisaris PT. BMB di Indonesia bersama Tan Hock Yew atas nama Direktur PT CB Polaindo, walaupun di sisi lain Tan Hock Yew juga sebagai Direktur di PT. BMB.
Selanjutnya Cornelis sebagai Komisaris PT BMB kembali membuat surat perintah kerja kepada Direktur PT CB Polaindo melaksanakan pekerjaan Land Clearing dan Cut-Fill tapak pabrik dan membangun sarana tempat tinggal sementara. Kontrak dan surat perintah kerja tersebut tentunya sudah menjadi keputusan bersama dan telah disetujui Mak Chee Meng sebagai Presiden Komisaris PT BMB dan Tan Hock Yew sebagai Direktur Utama PT BMB.
“Membangun pabrik tidak semudah membalik telapak tangan, tentu menemui kendala, terutama terkait pendanaan. Sementara yang katanya ada investasi masuk Rp1 triliun dari PMA AV-Ecopalm tidak tampak nyata. Apalagi selama saya tinggalkan, kondisi kebun tidak terawat. Lalu kemana investasi sebesar itu. Membangun kebun 1000 hektare saja tidak beres, jangan-jangan investasi ini hanya di atas kertas. Wala demikian saya tidak patah semangat dan punya solusi lain untuk mendanai pembangunan pabrik, " jelasnya.
Untuk mewujudkan rencana pembangunan pabrik, ia kemudian menawarkan solusi agar PT BMB mengupayakan pinjaman dana dari Bank. Dalam prosesnya, pihak bank meminta jaminan suplayer TBS dari masyarakat sekitar dan perusahaan lain yang bermitra dengan PT BMB mengingat PT BMB Manuhing hanya memiliki luas lahan inti 1.026 hektare. Luasan lahan tersebut tidak memenuhi pasokan TBS untuk pabrik yang rencananya akan dibangun dengan kapasitas produksi 45-60 ton/jam. Maka diperlukan bermitra dengan pihak lain.
Untuk memenuhi jaminan pasokan TBS sebagai persyaratan kredit dari Bank, harus ada kemitraan dengan badan usaha lain atau pihak lain atau masyarakat sekitar. Mengingat PT BMB berstatus PMA memiliki risiko hukum apabila bermitra secara langsung dengan masyarakat, sehingga diwacanakan ada badan usaha lain yang menjamin pasokan TBS dengan cara bermitra kepada masyarakat, dalam hal ini kelompok tani atau petani kelapa sawit di sekitar kebun.
Atas kesepakatan bersama kata Cornelis, dia kemudian diminta membuat perusahaan yang nantinya bermitra dengan masyarakat untuk menjamin pasokan buah ke pabrik CPO PT BMB. Atas kesepakatan tersebut, dibuatlah Commanditaire Vennootschap atau CV Dua Putri dan Cornelis Nalau Anton sebagai Direktur yang kemudian disusun dewan direksi sebagai tim marketing dari CV Dua Putri yang sekarang perusahaan meningkat status menjadi perseroan yaitu PT Dua Putri Sinarlapan.
Dengan telah dibuat CV Dua Putri, Cornelis Nalau Anton sebagai Direktur dan Tan Hock Yew sebagai Direktur Utama PT BMB menandatangani Kontrak Perjanjian Kerja Sama. Dalam perjanjian kerja sama CV Dua Putri berkewajiban menjamin ketersediaan TBS masuk pabrik, menyuplai pupuk dan bibit kepada masyarakat atau badan usaha lain yang bermitra dengan CV Dua Putri dan diwajibkan juga untuk mencari TBS sebanyak-banyaknya dari luar sebagai penampung tunggal TBS untuk pabrik PT BMB. “Kepada CV Dua Putri diberikan penghasilan berupa fee dari harga TBS yang diterima pabrik. Bahkan sebelum pabrik operasional, karyawan CV Dua Putri digaji oleh PT BMB, " beber Cornelis.
Tindak lanjut dari penandatanganan Kontrak Perjanjian Kerja Sama tambahnya, CV Dua Putri kemudian melakukan pemetaan terhadap potensi kebun masyarakat sekitar PT BMB lalu membangun kerja sama dengan Badan Usaha Milik Desa atau BUMDes agar bisa menjamin ketersediaan pasokan TBS ke pabrik.
“Dari inventarisasi potensi kebun masyarakat seluas 6.334 hektare yang bermitra dengan CV Dua Putri, sehingga persyaratan tersebut kemudian disetujui oleh pihak Bank dan sekitar akhir tahun 2018 dana pinjaman dicairkan oleh pihak Bank kepada PT BMB. Selanjutnya pembangunan pabrik dimulai dan diuji coba operasional pada bulan Februari 2019, serta beroperasi secara resmi pada Bulan April 2019, " urainya.
Konflik Internal Pemegang Saham PT BMB Setelah semua berjalan dengan baik, produksi TBS dari kebun inti meningkat seiring dengan perbaikan akses jalan produksi, pabrik CPO telah dibangun dan beroperasi. Namun, tiba-tiba pihak PT BMB mengingkari semua kesepakatan yang dibuat bersama sebelumnya dengan membuat keputusan secara sepihak membuka SPK supplier TBS ke pabrik kepada pihak lain.
“Tentu keputusan sepihak yang diambil oleh manajemen PT BMB ini merugikan saya, karena mereka menganulir secara sepihak Perjanjian Kerja Sama yang memberi kewenangan kepada CV Dua Putri sebagai penampung tunggal TBS di pabrik CPO PT BMB dengan menerbitkan SPK supplier TBS ke pabrik kepada pihak lain. Namun hal ini dapat diselesaikan dengan baik, sehingga tetap kembali kepada perjanjian semula hanya dengan mengubah atau addendum 1 pasal dalam perjanjian tersebut, ” kata Cornelis.
Hubungan kerja antara PT BMB dengan CV Dua Putri serta antara sesama pemegang saham dan manajemen PT BMB dari Malaysia dengan CV Dua Putri kembali membaik. Seiring berjalannya waktu, status CV Dua Putri meningkat menjadi PT DPS (PT Dua Putri Sinarlapan) dan semua kontrak sebelumnya atas nama CV Dua Putri berubah menjadi atas nama PT DPS.
Setelah semua berjalan lancar, PT DPS memenuhi semua kewajibannya dalam perawatan jalan dan membuat infrastruktur dan lainnya, walaupun PT BMB selalu terlambat dalam membayar tagihan PT DPS, dari pihak kami hanya bisa bersabar mengingat saya juga sebagai pemilik PT BMB dan perusahaan kembali mengalami kesulitan keuangan akibat kebijakan negara terkait larangan ekspor CPO beberapa waktu lalu.
Hal itu juga berdampak pada keuangan PT DPS dan PT DPS kemudian melakukan penagihan secara kekeluargaan kepada manajemen PT BMB berdasarkan Perjanjian Kerja Pembangunan Kebun Kelapa Sawit. Namun PT BMB tidak memenuhi perjanjian, padahal Perjanjian Kerja tersebut telah diperkuat dengan Instruksi Presiden Komisaris PT BMB kepada PT DPS untuk melaksanakan MoU.
Baca juga:
Joko Widodo: Bangga Buatan Indonesia
|
Berdasarkan Invoice Pembayaran PT BMB kepada PT DPS dari tahun 2019 sampai dengan September 2022, PT BMB terhutang sebesar Rp26.409.224.067 (Dua puluh enam miliar empat ratus sembilan juta dua ratus dua puluh empat ribu enam puluh tujuh rupiah) ditambah estimasi denda pajak PPn sebesar Rp 475.043.423 (Empat ratus tujuh puluh lima juta empat puluh tiga ribu empat ratus dua puluh tiga rupiah).
Dengan demikian total tagihan PT DPS kepada PT BMB sebesar Rp26.884.267.499 (Dua puluh enam miliar delapan ratus delapan puluh empat juta dua ratus enam puluh tujuh ribu empat ratus sembilan puluh sembilan rupiah). Jumlah tersebut belum dihitung nilai tambahan dari sewa alat berat yang masih berjalan dan diputus secara sepihak oleh PT BMB.
“Akibat kelalaian PT BMB yang tidak memenuhi prestasi atau kewajibannya, PT DPS mengalami kerugian mencapai Rp26.884.267.499 sejak ditandatanganinya Surat Perjanjian Kerja pada tahun 2017 antara PT BMB dengan CV Dua Putri yang mana telah berubah status menjadi PT DPS. Kemudian kami melalui tim kuasa hukum melayangkan somasi dan apabila pihak PT BMB tidak memenuhi prestasi atau kewajibannya akan dibawa ke jalur hukum yang kini sedang berproses. Di sini lah konflik kedua kalinya antara PT DPS dengan PT BMB kembali mencuat, hingga akhirnya diketahui secara diam-diam pihak PT BMB melakukan perubahan akta perusahaan, ” beber Cornelis.
Manajemen Baru Diduga Palsukan Akta Autentik PT BMB
Kuasa hukum PT DPS Arif Irawan Senjaya, SH mengungkapkan, kisruh PT BMB anak perusahaan CBIP Group asal Malaysia kian tajam pascasomasi dilayangkan oleh PT DPS. Bahkan pihak PT BMB bukannya menyelesaikan tunggakan pembayaran kepada PT DPS, justru malah melakukan perbuatan hukum yang berakibat merugikan PT DPS dan Cornelis Nalau Anton secara pribadi serta Wagetama I Disai sebagai Direktur di PT BMB diberhentikan secara sepihak.
Ironisnya lagi, kontrak-kontrak kerja sama dengan PT DPS juga diputuskan secara sepihak oleh PT BMB melalui perubahan Akta Notaris Nomor: 13 tertanggal 16 Mei 2018 menjadi Akta Notaris Nomor: 03 tertanggal 12 Agustus 2022 tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) yang sah menurut ketentuan yang berlaku. Padahal sebagaimana Petikan Surat Presiden Komisaris Mak Chee Meng dan Presiden Direktur Tan Hock Yew yang dicatatkan oleh Notaris, telah disepakati agar nama Cornelis Nalau Anton dimasukan kembali dalam perubahan Akta Notaris tersebut, apabila ada perubahan akta berikutnya. Namun dalam akta perubahan tersebut ucap Arif Irawan Senjaya, nama Cornelis Nalau Anton justru tidak dimasukkan. Bahkan Akta Perubahan dibuat secara diam-diam tanpa sepengetahuan oleh Cornelis N Anton.
“Klien saya ini adalah salah satu pemegang saham di PT BMB walaupun tidak lagi mayoritas, tetapi orang tahu, beliaulah pemilik tunggal sebelum menjadi PMA. Beliau juga yang memberi nama perusahaan PT BMB. Tidak hanya sebagai pemegang saham, beliau juga menjabat sebagai Komisaris Aktif serta menjabat sebagai Direktur Hukum dan Sosial di PT BMB dan bukti-bukti dokumennya tertulis, ” bebernya.
Ia menegaskan, perbuatan semena-mena dari para pihak yang ada dalam akta baru tersebut telah merendahkan harkat dan martabat kliennya sebagai orang Dayak yang ditokohkan dan dipercaya oleh MADN memimpin Pasukan Dayak dengan jabatan Panglima Badan Komando Laskar Masyarakat Adat Dayak (BAKORMAD) Nasional.
“Jadi, apa yang dilakukan oleh para pihak dalam akta ini, tampak jelas adanya dugaan konspirasi jahat untuk menyingkirkan dan menzalimi seorang tokoh Dayak yang notabene pemimpin pasukan Dayak, ” tegasnya.(*).